9 November, kemalasanku semakin menjadi-jadi. Entah ini karena sakit
amandel atau ada hal lain yang membuatku lebih sering tertidur pulas.
Sedikit-sedikit merasa lelah, sedikit-sedikit pipiku menyentuh bantal.
Aku sungguh pemalas! Aku merasa itu bukan aku! Sama sekali! Aku beranjak
berpikir untuk menulis dan menggunting-gunting kertas dan menempelnya
di dinding. Menulis apalah, untuk memberi semangat. Aku selalu begitu.
Memberi semangat pada diriku. Sebab, seberapa besar sahabatku
menyemangati tidak setiap hari ia akan selalu ada dan mengingatkan.
Itulah caraku mandiri. Tidak bergantung kepada orang lain. Merasa belum
puas entah dengan terpaksa aku mengetik SMS dan dalam hitungan detik
sampai pada penerimanya. Ya, akhir-akhir ini (lebih tepatnya sejak 2
bulan yang lalu) aku sering bersama dengannya. Saling traktir, ikut
lomba bareng, berganti tidur di kostan masing-masing. Namanya Nurtria.
Mirip seperti nama kecilku Nur Cahya Muliati. Tapi, karena menurut orang
tua dulu aku keberatan nama yang mengakibatkanku sering sakit itulah
kenapa namaku sekarang berubah menjadi Muliati Supandi. Nama belakangnya
mengikuti nama ayah dari ayahku. Menurut cerita begitu.
‘’Maaf. Baru bangun. Tidak sedang sibuk. Oke, kita pergi’’ Gadis yang seumuranku itu membalas pesan singkat yang ku kirimkan. SMS ajakan untuk pergi ke Mall atau Gramedia membeli buku. Tanpa memikirkan matang-matang bahwa uangku sedang menipis. Ini penting. Bukan sekedar menghibur diri. Bukan pula untuk koleksi agar bukuku banyak. Aku butuh mengembalikan jiwaku. Ya, sepertinya beberapa hari kemarin menghilang terbawa oleh kemalasan. Aku bahkan hampir menangis karena seperti itu. Itulah kenapa aku butuh buku. Butuh sesuatu yang mengajariku. Butuh sesuatu yang menarik tanganku bergegas bangkit. Beberapa minggu yang lalu aku sudah mencobanya. Tetap saja belum maksimal. Aku bukan aku. Aku menemukan diriku jauh terjatuh di bawah jurang. Aku merasa seperti itu jika aku malas. Ini bukan malas biasa. Berakibat fatal. Aku harus berubah. Secepat kilat menyambar.
Hari ini aku memburu novel. Penulis Tere Liye selalu menarik perhatianku. Entah bagaimana, karangannya berbeda dari novel yang pernah ku baca. Telak. Aku akan membaca novel tebalnya yang berjumlah 440 halaman tidak cukup separuh hari. Ini gila, sebab aku terbawa oleh suasana di dalamnya. Seolah mengambil peran. Mama selalu bilang, untuk apa beli-beli novel itu tidak penting. Tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Itu tertumpuk di rumah tidak kamu pake. Ya iyalah Ma, orang sudah habis ku kunyah semua isinya. Sengaja ku kirim ke rumah untuk Mama baca. Tapi, sepertinya mama terlalu sibuk, papa juga, kakak sama sibuknya. Tidak ada yang memperdulikan tumpukan buku yang sudah ku perpak rapi di dos.
Gramedia sore itu sudah hampir gelap. Suara mengaji di mesjid mulai sahut menyahut. Aku memutuskan untuk tidak berlama-lama dan mata keranjang dengan buku yang lain tidak ku tuju. Aku hanya punya jatah Rp. 100.000 untuk kali ini. Aku meminta bantuan petugas agar ditunjukkan rak yang berisi buku karangan Tere-Liye. Di sana terjejer rapi, Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin, negeri di ujung tanduk, ayahku bukan seorang pembohong, negeri para bedebah (rata-rata aku sudah punya dan baca), spucuk surat ampau merah (meskipun belum membacanya, aku sudah mendengar ceritanya. Malas lagi untuk membelinya). Sekarang yang tersisa, Bumi. Aku penasaran memang dari dulu dengan buku ini. Mungkin Bang Tere menulisnya agar memberi pemahaman pada kita semua untuk menjaga bumi. Tapi, ternyata tidak sekedar itu saat aku membelinya dan membacanya. Lebih seru. Aku bahkan tertawa, dan tegang berkali-kali. Aku seperti menonton (lebih tepatnya sedang berada di tempat kejadian). Sebelum membeli, aku mencoba melihat harganya Rp. 97.500. Astaga. Aku hampir saja mengurungkan niat. Tapi, lagi-lagi niat menjadi lebih baik dan berkarya lebih banyak mampu mengalahkannya. InsyaAllah 1 buku ini akan menghasilkan puluhan bahkan ratusan inspirasi di masa yang akan datang ketika aku telah bangkit. Aku juga berpikir, jika aku sering membaca ebook selain mataku akan sakit. Aku tidak menghargai penulisnya yang sudah susah payah mencari ide terbaik. Lantas, aku mengetahuinya secara gratis. Ini tentu tidak adil. Semoga suatu saat apa yang aku perbuat hari ini akan berbuah manis. Semoga, jika jadi penulis nanti. Pembaca setiaku membeli buku asli, bukan bajakan atau sekedar menunggu dan mendownload ebook. Aamiin YRA. Dulu aku selalu begitu, tapi seiring waktu aku paham kenapa harus membeli.
Dan, hari ini tertanggal 11/11/2014. Aku telah memberi pemahaman yang baik pada diriku, melalui buku itu. Semoga Allah selalu menuntunku dengan caraNya. Melalui manusia, melalui buku-buku dan kejadian-kejadian.
‘’Maaf. Baru bangun. Tidak sedang sibuk. Oke, kita pergi’’ Gadis yang seumuranku itu membalas pesan singkat yang ku kirimkan. SMS ajakan untuk pergi ke Mall atau Gramedia membeli buku. Tanpa memikirkan matang-matang bahwa uangku sedang menipis. Ini penting. Bukan sekedar menghibur diri. Bukan pula untuk koleksi agar bukuku banyak. Aku butuh mengembalikan jiwaku. Ya, sepertinya beberapa hari kemarin menghilang terbawa oleh kemalasan. Aku bahkan hampir menangis karena seperti itu. Itulah kenapa aku butuh buku. Butuh sesuatu yang mengajariku. Butuh sesuatu yang menarik tanganku bergegas bangkit. Beberapa minggu yang lalu aku sudah mencobanya. Tetap saja belum maksimal. Aku bukan aku. Aku menemukan diriku jauh terjatuh di bawah jurang. Aku merasa seperti itu jika aku malas. Ini bukan malas biasa. Berakibat fatal. Aku harus berubah. Secepat kilat menyambar.
Hari ini aku memburu novel. Penulis Tere Liye selalu menarik perhatianku. Entah bagaimana, karangannya berbeda dari novel yang pernah ku baca. Telak. Aku akan membaca novel tebalnya yang berjumlah 440 halaman tidak cukup separuh hari. Ini gila, sebab aku terbawa oleh suasana di dalamnya. Seolah mengambil peran. Mama selalu bilang, untuk apa beli-beli novel itu tidak penting. Tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Itu tertumpuk di rumah tidak kamu pake. Ya iyalah Ma, orang sudah habis ku kunyah semua isinya. Sengaja ku kirim ke rumah untuk Mama baca. Tapi, sepertinya mama terlalu sibuk, papa juga, kakak sama sibuknya. Tidak ada yang memperdulikan tumpukan buku yang sudah ku perpak rapi di dos.
Gramedia sore itu sudah hampir gelap. Suara mengaji di mesjid mulai sahut menyahut. Aku memutuskan untuk tidak berlama-lama dan mata keranjang dengan buku yang lain tidak ku tuju. Aku hanya punya jatah Rp. 100.000 untuk kali ini. Aku meminta bantuan petugas agar ditunjukkan rak yang berisi buku karangan Tere-Liye. Di sana terjejer rapi, Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin, negeri di ujung tanduk, ayahku bukan seorang pembohong, negeri para bedebah (rata-rata aku sudah punya dan baca), spucuk surat ampau merah (meskipun belum membacanya, aku sudah mendengar ceritanya. Malas lagi untuk membelinya). Sekarang yang tersisa, Bumi. Aku penasaran memang dari dulu dengan buku ini. Mungkin Bang Tere menulisnya agar memberi pemahaman pada kita semua untuk menjaga bumi. Tapi, ternyata tidak sekedar itu saat aku membelinya dan membacanya. Lebih seru. Aku bahkan tertawa, dan tegang berkali-kali. Aku seperti menonton (lebih tepatnya sedang berada di tempat kejadian). Sebelum membeli, aku mencoba melihat harganya Rp. 97.500. Astaga. Aku hampir saja mengurungkan niat. Tapi, lagi-lagi niat menjadi lebih baik dan berkarya lebih banyak mampu mengalahkannya. InsyaAllah 1 buku ini akan menghasilkan puluhan bahkan ratusan inspirasi di masa yang akan datang ketika aku telah bangkit. Aku juga berpikir, jika aku sering membaca ebook selain mataku akan sakit. Aku tidak menghargai penulisnya yang sudah susah payah mencari ide terbaik. Lantas, aku mengetahuinya secara gratis. Ini tentu tidak adil. Semoga suatu saat apa yang aku perbuat hari ini akan berbuah manis. Semoga, jika jadi penulis nanti. Pembaca setiaku membeli buku asli, bukan bajakan atau sekedar menunggu dan mendownload ebook. Aamiin YRA. Dulu aku selalu begitu, tapi seiring waktu aku paham kenapa harus membeli.
Dan, hari ini tertanggal 11/11/2014. Aku telah memberi pemahaman yang baik pada diriku, melalui buku itu. Semoga Allah selalu menuntunku dengan caraNya. Melalui manusia, melalui buku-buku dan kejadian-kejadian.
Komentar
Posting Komentar